Inidata.id - Ingatan Taufikson masih jelas membahas soal Tengkawang. Lelaki berumur 57 tahun ini merupakan warga Pengkadan, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Semasa kecil, ia bersama orangtua dan warga lainya di kampungnya yang terletak di Tintin, Riam Panjang, pergi ke hutan. Di sana, mereka memanen buah Tengkawang.
Letak rumah dan hutan tidaklah jauh. Warga yang sudah siap memanen tengkawang di hutan adat atau yang disebut keloka ini berbondong-bondong menuju ke hutan. Gong berbunyi. Sebagai tanda, bahwa panen raya buah Tengkawang telah tiba.
Taufikson bercerita, Tengkawang di kampungnya hidup secara alami di pinggiran sungai. Tumbuh subur tanpa dipupuk dan dipelihara. Karena, tumbuhan dengan latin Shorea stenoptera ini memang mudah tumbuh di pinggiran sungai.
“Tengkawang bisa tumbuh dengan sendirinya begitu di pinggiran sungai. Ditanam mungkinlah, ditanam memang secara alami,” ucap Taufikson di Kabupaten Kapuas Hulu baru-baru ini.
Lelaki yang hobi menulis di sosial media itu menuturkan, buah Tengkawang yang hanyut dibawa air aliran sungai tumbuh. Masyarakat di sana, membiarkan pohon Tengkawang secara alami.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Wanita Tangguh Pelestari Tengkawang Kalimantan Barat
“Tapikan tidak langsung dibunuh oleh orang, ketika dijadikan ladang di pinggir sungai,” kata Taufikson.
Pada saat Tengkawang memiliki nilai ekonomi, warga di sana menjaga pohon Tengkawang. Baik itu yang memiliki pohon Tengkawang maupun yang adat. Saat beharga dan dibeli oleh oleh pengepul yang musiman. Ketika barang itu berharga jadilah milik adat. “Nanti dibeli oleh pengepul,” tuturnya. Saat panen raya tiba, warga pun sudah siap membawa perlengkapan pergi hutan.
“Kami pagi baru boleh mengambil. Nanti ada suara gong, dipukul sebanyak tiga kali, tong, tong, tong, barulah orang berkumpul. Mukulnya di pohonnya kalau udah siap. Banyaknya se kampung, orang tua, anak-anak muda. Hampir ratusanlah,” kata Taufikson.
Nilai rasa kebersamaan dan kegotong itulah yang dipupuk warga di sana. Mereka yakin, dengan kebersamaan itulah akan menjalin silaturahmi antar sesama.
“Tengkawang itu nanti tergantung dapat, yang dapat banyak ya hasilnya banyak, yang sedkit ya sedikitlah. Tapi, rata semua dapat,” ucapnya. Untuk membawa buah Tengkawang, warga menggunakan sedong dan tengkalang. Semacam anyaman dari rotan. Tengkalang sama, tapi lebih besar. Sejenis kandang tapi digendong.
Setelah Tengkawang didapat, warga pun mengumpulkanya. Lalu selanjutnya, ada sedong dari anyaman rotan. Kalau sedong dari anyaman daun. Ada juga dari bemban. Barang ini semacam keranjang yang dikasik tali. Dipikul di kepala.
“Nanti buah engkabang itu dipotong kepaalnya dan sayapnya. Lalu dimasukkan. Kulit dijual. Engkabang itu diolah dengan cara direndam, kalau dulu. Sayapnya dipukul, nanti sayapnya lepas,” ucapnya menjelaskan.
Selain buah Tengkabang dimanfaatkan warga, ada juga pohon Tengkawang dimanfaatkan warga untuk pembuatan lanting di sungai. Cara pengambilan Tengkawang semacam bambu dilintangkan sebagai pelampung di sungai. Tengkawang ini tidak hanyut dan tidak tenggelam.
Artikel Terkait
Mengenal Lebih Dekat Wanita Tangguh Pelestari Tengkawang Kalimantan Barat